MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE
(Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan
Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia)
AGUS RAHARJO
Perkembangan teknologi informasi menghasikan internet yang multi-fungsi dan dampak positif maupun negatif pada kehidupan manusia. Disertasi ini berupaya mengungkap permasalahan yang ditimbulkan oleh teknologi informasi, yaitu mengenai sebab-sebab setiap perkembangan teknologi informasi selalu menimbulkan persoalan hukum; kemampuan hukum yang ada dalam menangani persoalan yang ditimbulkan oleh teknologi informasi; dan model hukum apa yang dapat melindungi para pengguna internet. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan paradigma konstruktivisme sebagai acuan dengan metode penelitiannya non-doktrinal (sosiologis) yang bersifat kualitatif.
The Hybrid of Cyberspace Law merupakan model pengaturan untuk mengatasi keterbatasan kemampuan itu. Model ini merupakan sintesis dari model pengaturan yang selama ini ada, yaitu traditional regulation model yang bersifat top down (peran pemerintah dominan) dan self-regulation yang bersifat bottom up (peran pemerintah kecil, yang utama adalah peran komunitas dalam cyberspace). The Hybrid of Cyberspace Law menempatkan manusia sebagai titik sentral sehingga menampung nilai moral dan etika baik yang ada di real space maupun cyberspace (Netiquette) serta mendorong perkembangan teknologi.
Perkembangan teknologi pada umumnya dan teknologi informasi pada khususnya membawa dampak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup di sekitar manusia. Perkembangan teknologi informasi bersimbiosis dengan globalisasi menimbulkan berbagai persoalan hukum. Persoalan hukum yang ditimbukan oleh perkembangan teknologi informasi tak lepas dari janji-janji teknologi yang tidak selamanya terwujud. Persoalan hukum yang ditimbulkan oleh teknologi informasi merupakan persoalan kemanusiaan karena menyangkut kodrat manusia yang dapat dinilai sesuai dengan kemanusiaan atau tidak. Perikemanusiaan adalah nilai khusus yang bersumber pada nilai kemanusiaan. Jika sesuatu perbuatan dinilai sebagai tindakan yang berperikemanusiaan, ini berarti tindakan tersebut sesuai dengan hakekat manusia, yaitu kemanusiaan. Menempatkan persoalan kemanusiaan sebagai titik tolak dari dampak teknologi informasi sesungguhnya merupakan upaya untuk menempatkan manusia dalam posisi sentral sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila pada Sila Kedua. Kajian hukum yang menempatkan manusia pada posisi yang utama adalah hukum progresif. Penempatan manusia dalam posisi yang utama seharusnya diikuti oleh para pemikir, pencipta dan pengembang teknologi informasi agar teknologi yang diciptakan dapat membawa kebahagiaan bagi manusia. Dalam menghadapi persoalan yang timbul karena teknologi informasi, hukum memiliki keterbatasan kemampuan dalam memecahkan persoalanpersoalan yang timbul di masyarakat. Keterbatasan kemampuan hukum ini tercakup dalam dua aras, yaitu aras teoretik dan aras praktik. Pada aras teoretik, berbagai teori hukum yang ada tak mampu untuk memberi penjelasan mengenai aspek hukum yang ditimbulkan oleh teknologi informasi, sedangkan pada aras praktik, keterbatasan kemampuan hukum dapat dilihat dari efektivitas peraturan yang dibuat oleh penguasa ketika dioperasikan dalam masyarakat. Pada aras ini keterbatasan tidak hanya terlihat pada peraturan tertulis yang telah dibuat, akan tetapi juga terlihat dari sarana dan prasarana yang mendukung bekerjanya hukum serta aparat penegak hukum yang kurang berani melakukan terobosan atau konstruksi yuridis terhadap cybercrime. Ini terlihat dari banyaknya kasus 26 cybercrime yang muncul, akan tetapi sedikit sekali yang dapat diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk mengatasi keterbatasan kemampuan hukum itu, maka dimunculkan suatu pandangan baru yaitu suatu model pengaturan yang lebih baik, yaitu The Hybrid of Cyberspace Law. Model pengaturan ini merupakan sintesis dari model pengaturan yang selama ini ada, yaitu traditional regulation model dan self-regulation dengan menjadikan Pancasila sebagai acuan utamanya. Traditional regulation model merupakan regulasi yang didasarkan pada mekanisme yang ada pada the existing law, sedangkan self-regulation merupakan bentuk pengaturan yang berkembang di cyberspace baik dalam bentuk lex informatica, emergent law, polycentric law maupun modality of cyberspace. Sebagai sintesis dari kedua model pengaturan itu, The Hybrid of Cyberspace Law menampung pula nilai moral dan etika baik yang ada di real space maupun cyberspace (Netiquette), sehingga hukum yang nantinya terbentuk merupakan a peculiar form of social life karena hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural.
Sumber:
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/Disertasi_Agus_Raharjo_-_Bhs_Indonesia.pdf
0 comments:
Posting Komentar